JIHAD PERSPEKTIF AL-QUR`AN
(Tafsir Tematik: Meletakkan Makna jîhâd Sesungguhnya)
Oleh: Syarif, MA
Term jîhâd -- oleh banyak orang -- sering dieratkan dengan kekerasan. Oleh karena itu, term ini dijadikan indikasi penting, terutama oleh orientalis, dalam menlihat Islam sebagai agama yang mengajarkan dan disebarkan dengan kekerasan, kemudian mucul jihaduphobia dan Islamuphobia. Pandangan itu tidak lepas dari pemaknaan secara pintas term jîhâd yaitu perjuangan. Maka kemudian ia dilinierkan dengan peperangan oleh karena, hampir semua orang selalu mengartikan perjuangan dengan peperangan. Selanjutnya dalam istilah peperangan ada istilah musuh, maka terjadilah distorsi pemaknaan jîhâd berikutnya yaitu jîhâd diartikan peperangan melawan musuh. Distorsi makna ini terjadi -- di antaranya-- karena, salah kaprahnya penempatan bahasan jîhâd dalam kitab-kitab fiqh selalu ditemukan dan berisi bahasan perang dan hukum-hukumnya.
Tidak hanya distorsi pemaknaan, terdapat fakta tindakan –seperti pengeboman, penyerangan dan pengrusakan-- oleh sebgaian kaum muslimin -- diklaim sebagai tindakan dan gerakan jîhâd dengan simbol teriakan “Allahu Akbar”. Masalahnya adalah, sedah tepatkah jîhâd dimaknai dan diejawantah seperti itu? Pertanyaan ini penting dijawab lewat sumber Islam—al-Qur`an. Menempatkan al-Quran sebagai penjawab terdepan agar Islam tidak dilihat dari penganutnya tetapi dari sumbernya.
Makna Jîhâd
Kata jîhâd terambil dari kata ja-ha-da, pada mulanya berarti sulit (masyaqqat) dan makna yang mendekatinya seperti al-juhd berarti kemampuan (al-Thaqat), dan al-imtihân berarti ujian. (Ibn Faris, Mu,jam Maqayis al-Lughat, 1991 M, jilid 1, hal. 486. bandigkan: al-Ashfahani, Mu,jam Mufradat Alfadh al-Quran: t.th., hal. 99; Ibn Mandhur: 1995, jilid III, hal. 133).
Arti etimologi ini mengisyaratkan bahwa jîhâd sangat erat dengan sesuatu yang sulit, susah, payah dan sejenisnya, sehingga menuntut kemampuan tertentu. Oleh karena itu, ia menjadi ujian bagi pelakunya. Al- Ashfahani mencontohkan ijtihâd yang berarti “memusatkan totalitas diri dengan mengerahkan kemampuan karena ijtihâd mengandung kesulitan dalam mengolah akal dan fikiran. Pengertian ini mengindikasikan bahwa nyaris tidak ada satu pun dari anasir kehidupan ini yang tidak memerlukan jîhâd oleh karena, tidak ada aktifitas kehidupan yang dapat dilakukan dengan mudah tanpa kesulitan.
Menilik indikasi di atas, maka relevan jika al-Ashfahani mengemukakan luasnya makna jîhâd, sedikitnya dalam tiga jenis, yaitu jîhâd menghadapi musuh yang tampak; jîhâd menghadapi bujuk rayu syetan; dan jîhâd mengendalikan hawa nafsu. Jenis jîhâd oleh al-Ashfahani ini tergolong dalam jîhâd fisik dan non fisik.
Tampilan makna di atas memberikan pemahaman bahwa jîhâd adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mencapai sutau maksud tertentu, di mana maksud itu adalah suatu yang sulit dan mencakup setiap aspek kehidupan sehingga yang melakukannya pasti menemukan kesulitan yang meletihkan dan, oleh karena itu diperlukan kemampuan tertentu untuk mewujudkannya.
Jihad diungkap al-Quran
Term jîhâd berikut kata bentukannya diungkap 41 kali, tersebar dalam 19 surat al-
Quran (Muhammad Fuad Abd al-Baqi: Mu’jam Mufahrats li Alfadh al-Quran, huruf jim, ha, dal). Dengan pengungkapan ini al-
Al-Quran menjelaskan jîhâd dalam beberapa bentuk:
jîhâd bermakna suatu tindakan yang umum. Penjelasan ini dapat dilihat dari cirinya, di mana kata jîhâd sering digandengkan dengan kata ‘sabîlullâh’(baca: Q.s. 2:218, 4:94, 5:35;54, 8:72;74, 9:19;20;24;1;81, 49:15, 60:1, 61:11). Kata sabîl berarti al-tharîq yaitu hidayah yang dapat mengantarkan kepada Allah (ibn Mandhur, hal. 319).
Ciri keumuman makna ini diikuti dengan: bahwa nyaris ayat-ayat yang memuat term jîhâd tidak mempunyai objek, kecuali dua ayat yeng menyebut objeknya yaitu orang-orang kafir dan munafiq (Q.s.9:73, 25:52); bahwa banyak pengungkapan bentuk jîhâd berupa amwâl (harta) seperti sedekah (Q.s. 9:79), menyingkirkan kedhaliman (Q.s. 9:19), melaksanakan ibadah mahdlah (Q.s. 22:78), dan sebagainya.
Jîhâd mempersyaratkan harus dalam hal yang diridlai Allah, karena Allah, dan sekadar kemampuan. Terdapat 15 (limabelas) ayat yang menunjukkan jîhâd dilakukan di jalan Allah (sabîlullâh). Ini menunjukkan bahwa jîhâd tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan. Bahkan menurut M. Quraish Shihab tidak boleh bertentangan dengan fitrah kemanusiaan (1996:506). Maka paksaan secara keras untuk melenceng dari jalan Allah, hatta oleh orang tua sekalipun, harus ditolak (Q.s. 31:15). Oleh karena tidak boleh betentangan dengan ridla Allah, maka jîhâd pasti dilakukan karena Allah dan mengharap rahmat dan kasih sayang-Nya (Q.s. 2:218). Berdasarkan ini, maka mujâhid tidak dituntut kecuali sekadar kemampuannya (Q.s. 8:79). Maka untuk ini semua, besar kecilnya, berjihad atau tidak, akibatnya atau ganjarannya berpulang kepada pelakunya (Q.s. 29:6).
Jîhâd tanpa tangan kosong
Sejalan dengan bahwa jîhâd dapat seca fisik dan non fisik, sedikitnya ditemukan 9 (sembilan) ayat yang memuat rangkaian kata biamwâlihim wa anfusihim dan 6 (enam) ayat memuat kata hâjarû mendampingi term jîhâd (baca diantaranya: Q.s. 2:218, 9:20). Temuan ini menunjukan bahwa jîhâd bukan tindakan berlenggan badan tanpa ada apa yang dikorbankan. Artinya jîhâd bukan suatu tindakan dan tujuan yang dapat dicapai dengan tangan kosong. Maka jîhâd adalah pengorbanan. Oleh karena itu yang mampu berjihad akan memperoleh keutamaan ( Q.s. 4:95), kemenangan dan kebahagiaan (Q.s. 5:35, 16:88), pertolongan sesamanya (Q.s. 8:72), pengampunan (Q.s. 17: 110), dan digolongkan sebagai shâdiqûn (Q.s. 49:15).
Mengapa sedemikian besar yang dijanjikan Allah kepada mujahid? Karena memang berjihad melawan sifat kikir untuk mengeluarkan harta, menaklukkan hawa nafsu dalam diri, dan bahkan berjihad dengan hijrah meninggalkan sanak famili, harta benda, dan segala fasilitas tidak mudah dan sangat berat dan mempunyai nilai pengorbanan yang sangat tinggi. Untuk itu semua diperlukan kesabaran tingkat tingi. Itu sebabnya terdapat ayat yang mengandung penjelasana jîhâd yang demikian sejajar dengan kesabaran (Q.s. 17:11).
Jihad ujian bagi orang yang beriman
Salah satu makna jîhâd adalah ujian. Mujahid adalah orang yang menerima ujian Allah dan sekaligus penilaian Allah atas orang tersebut apakah termasuk orang yang sabar atau tidak (Q.s. 3:142, 47:31). Ayat ini berkorelasi kuat dengan ayat yang menggambarkan rincian ujian Allah kepada manusia. Allah memberikan ujian berupa ketakutan (rasa tidak aman), kelaparan, kekurangan harta, miskin jiwa, dan tidak adanya penunjang makanan berupa buah-buahan di mana kesmuanya itu memerlukan jîhâd oleh karena, sengat tidak mudah. Karena tidak mudah maka memerlukan kesabaran dan yang mampu sabar memperoleh kegembiraan (Q.s. 2:155).
Beberapa penjelasan tebaran ayat al-Quran tentang jîhâd di atas memberi pemahaman bahwa jîhâd sama sekali tidak identik dengan perang. Di dalam al-Quran ada bahsan tersenidri tentang perang. Kalau begitu, apa hubungan jîhâd dengan perangan?
Hubungan Jîhâd dan Perang
Jika kita pahami pengertian etimologi jîhâd di atas, maka tidak ditemukan ada yang menunjuk kepada pengertian perang. Artinya jelas jîhâd tidak berarti perang. Tetapi ada qarînah yang menghubungkan kata jîhâd kepada peperangan, seperti sabîlullâh, anfus, aduw, dan kâfir. Pertanyaan yang sangat penting ialah: Apakah salah jika al-Quran memuat hal-hal yang berhubungan dengan perang? Apakah karena itu lalu Islam layak desebut agama yang disebarkan dengan kekerasan?
Ayat-ayat jîhâd yang ditengarai sebagai jîhâd berarti perang adalah Q.s. 9:72 dan Q.s. 25:52. Sebabnya karena ayat ini memuat objek yaitu kuffâr/kâfir. Tetapi jika di dalami, sesungguhnya ayat jîhâd dalam ayat ini tidak berarti perang. Ada beberapa argumentasi yaitu: pertama, ulama sepakat Q.s. 25:52 ini turun di Makkah, sementara izin perang dalam sejarah turunnya ketika Rasululah s.a.w. berada di Madinah. Itu artinya ayat di atas tidak beruhungan dengan angkat senjata tetapi berarti melawan orang kafir dengan al-Quran. Kedua, makna keumuman jîhâd dengan term sabîlullâh mendudukkan perang sebagai satu bentuk dari sekian banyak bentuk jîhâd fî sabilillâh. Ini dikuatkan oleh ketiga,ditemukan beberapa hadis bahwa jîhâd yang paling utama bukanlah perang, tetapi berupa hajjul mabrûr, jîhâd al-nafs, dan mengatakan yang hak di depan pengasa yang dhalim.
Perang diungkap al-Quran dengan term qitâl. Dengan beberapa bentuknya term ini ditemukan terulang 170 kali dalam 33 surat, tetapi ternyata tidak semuanya berarti perang. Ada yang berarti lain seperti bunuh (Q.s. 81:9), kutuk/siksa (Q.s. 85:4), dan sebagainya.
Izin perang di dalam al-Quran memuat beberapa prasyarat. Pertama, sebelum berperang harus diperhatikan kondisi musuh, apakah cenderung bersikeras berperang ataukah cenderung berdamai, jika cenderung berdamai, berdamailah (Q.s. 8:62). Menurut ayat ini, perang adalah tawaran dan pilihan terakhir. Kedua, perang boleh terjadi jika dalam rangka mengikis kedhaliman, menghilangkan gangguan musuh yang menyakitkan (fitnah), dan dalam rangka pembelaan kepada orang lemah tertindas (baca: Q.s. 22:40, 2:193;251, 4:75). Dan ketiga, berperang tidak melampaui batas (Q.s. 2:19) seperti membunuh wanita, anak kecil, orang tua, dan mengingkari perjanjian damai atau menyerang sepihak (Q.s. 8:58)
Dalam rangka melaksanakan izin perang seperti ayat di atas, para ulama mengemukakan hukum berperang. M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa jîhâd membela negara selama musuh masih di luar wilayah negara hukumnya fardlu kifayah. Jika musuh sudah masuk ke dalam wilayah negara yang wajib dipertahankan hukumnya fardlu ‘ain.
Akhir
Jadi, serta merta mengartikan jîhâd dengan makna perang sangt tidak tepat, karena jîhâd diungkap al-Quran dalam makna yang sangat luas dalam banyak aspek kehidupan lintas ruang dan waktu. Bahwa perang sebagai satu dari sekian banyak bagian jîhâd adalah benar. Qarînahnya ialah karena perang adalah sesuatu yang mengandung kesulitan tinggai dan melelahkan sehingga diperlukan ekstra kemampuan dan mengandung pengorbanan baik harta maupun jiwa bahkan sanak keluarga.
Jika Qarînah ini membawa seseorang untuk memaknai jîhâd dengan perang, sesungguhnya tidak ada maslaah. Karena perang menurut al-Quran bukan untuk kehancuran dan kedhaliman, tetapi untuk nilai-nilai kemanusiaan. Jadi perang dalam ajaran Islam sangat mulia dan terkendali. Perang dalam visi al-Quran ber-etika, tidak brutal, dan bertujuan sangat mulia, tidak sekedar untuk mendapatkan ladang minyak.
Sekiranya semua orang di dunia ini mengerti tujuan jîhâd perang menurut dan sebagaimana diajarkan al-Quran, boleh jadi pepeperang digemari banyak orang.
Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment